You are currently viewing Pelatihan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Pelatihan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Institut Bisnis Nusantara (IBN) sukses mengikuti rangkaian kegiatan Pelatihan untuk Satuan Petugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di lingkungan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah 3 secara daring pada Rabu (8/6/2022) pukul 09.00 WIB hingga 15.00 WIB.

Kegiatan ini dimoderatori oleh Satgas PPKS Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Ibu Icha. Adapun pembicara yang memberikan materi yakni Ibu Dian Indraswari sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Pulih Jakarta dan Ibu Husna dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta.

Dalam kesempatan ini, Ibu Dian memaparkan materi tentang berbagai kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Menurutnya sebagian besar korban yang berusia remaja belum memiliki pengalaman seksual. Sehubungan dengan hal itu, pengalaman seksual laki-laki dan perempuan juga sangat berbeda. Hal tersebut menurut Ibu Dian harus dipahami secara seksama sehingga ketika ada kasus kekerasan seksual, masyarakat tidak menyalahkan atau menyudutkan korban. Apalagi jika korban mengalami guncangan hebat bahkan hingga frustasi dan ingin mengakhiri hidupnya.

“Ketika korban pelecehan seksual adalah mahasiswa dan pelakunya adalah dosennya, maka ada relasi kuasa di dalam hubungan ini. Dosen adalah sosok yang dihargai oleh mahasiswanya sehingga ketika mahasiswa mengalami pelecehan oleh dosennya, ia akan mengalami guncangan hebat karena selama ini ruang perlindungan dan kepercayaannya sudah dirusak oleh orang yang ia percaya. Orang yang seharusnya mengayomi berubah menjadi pelaku kekerasan seksual,” ujarnya.

Kekerasan seksual tersebut menurut Bu Dian tidak hanya menyebabkan gangguan psikis melainkan gangguan fisik dan sosial ekonomi yang dapat terjadi dalam jangka waktu yang lama.

Untuk mengantisipasi hal itu, menurut Bu Dian perlu adanya dukungan keluarga dan sosial sehingga korban dapat pulih dan hal ini yang bisa diupayakan dalam lingkungan kampus.

“Jika ada dukungan positif dari lingkungan sekitarnya, korban dapat pulih secara maksimal. Namun jika kondisi di lapangan tidak bersahabat maka proses pemulihan korban tidak akan maksimal,” ujarnya.

Ibu Dian juga memberikan langkah-langkah penanganan awal dalam proses pendampingan terhadap korban yang dapat dilakukan dalam lingkup kampus melalui proses konseling. Proses ini efektif memulihkan korban jika korban memiliki resiliensi yang kuat dengan metode menumbuhkan harapan dan rasa tenang terhadap korban.

“Resiliensi sifatnya lentur dan tidak patah di bawah tekanan. Dalam proses ini kita sebagai pendamping para korban di kampus harus mampu membuka luka mereka, memulihkan dan membantu korban membuka relasi yang sehat dengan orang lain. Semua harus dilakukan dengan cara bersahabat,” ujarnya.

Materi oleh Ibu Dian Indraswari sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Pulih Jakarta 

Senada Ibu Dian, Ibu Husna dari LBH APIK Jakarta memaparkan pengalamannya dalam mendampingi penyelesaian berbagai kasus kekerasan seksual yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

“Ada 1321 kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh LBH APIK Jakarta. Kasus yang paling tertinggi adalah kasus kekerasan berbasis gender online dengan 489 kasus di tahun 2021,” ujarnya.

Penanganan dilakukan dengan memaksimalkan kinerja dari 3 devisi di lembaganya, yakni devisi pelayanan hukum, devisi pelatihan kampanye dan advokasi, dan devisi internal keuangan. Berdasarkan kasus yang pernah ditangani, Ibu Husna mengatakan bahwa kekerasan seksual wajib dipahami secara seksama dan diselesaikan secara hati-hati berdasarkan proses hukum yang berlaku.

“Jika ada kasus kekerasan seksual, jangan sampai keluar di media sosial karena jika sudah dimuat di media sosial akan susah untuk di take down. Jadi sebisa mungkin kasus kita selesaikan dengan proses yang panjang dengan penuh kehati-hatian di ranah hukum,” tuturnya.

Bu Husna memaparkan bahwa korban kekerasan seksual wajib didampingi hingga proses hukum selesai.

“LBH APIK Jakarta hadir dalam pendampingan korban agar perempuan berada di posisi setara. Para korban ini akan kami dampingi hingga proses hukum selesai melalui berbagai langkah mitigasi dan non mitigasi,” ujarnya.

Sebagai bentuk dukungan terhadap korban, penyidik yang menangani kasus korban wajib disesuaikan dengan jenis kelamin korban dengan tujuan agar korban merasa lebih rileks dan nyaman menceritakan kasus pelecehan seksual yang dialaminya tanpa rasa sungkan atau terintimidasi.

“Jika korbannya perempuan lebih baik didampingi oleh polwan sehingga korban bisa lebih nyaman dalam menyampaikan kronologi kasusnya. Pertanyaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) juga kita pastikan tidak menyalahkan atau menyudutkan korban,” ujarnya.

Materi oleh Ibu Husna dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta

Setelah proses BAP selesai, maka pihaknya akan menjalin kerjasama yang kooperatif bersama dengan pihak kepolisian, pihak kejaksaan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melengkapi segala barang bukti yang diperlukan dalam persidangan.

“Kalau kasus diarahkan ke kejaksanan, maka kami harus meminta kontak jaksanya dan mengawal pasal-pasal yang diberlakukan dalam kasus hukum. Kami lakukan semuanya secara berjejaring. Biasanya kasus kekerasan seksual akan dilakukan di persidangan yang tertutup, jadi sebagai pendamping, kami upayakan hadir untuk menguatkan korban saat persidangan,” ujarnya.

Selain menceritakan pengalaman ketika mendampingi korban, Ibu Husna juga menawarkan kerjasama yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan dini.

“Kami sangat terbuka untuk menjalin kerjasama dengan mengadakan seminar-seminar mencegah kekerasan seksual, misalnya seminar tentang bagaimana membangun relasi yang sehat baik dengan sesama jenis maupun yang berbeda, sampai mana seseorang dianggap bercanda atau tidak sehingga tidak ada candaan yang seksis,” pungkasnya. 

Peserta Pelatihan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual